Minggu, 05 November 2017

PENDAHULUAN : ETIKA SEBAGAI TINJAUAN

a. Pengertian Etika
Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, yakni ethos. Bagi orang Yunani kata ethos mengandung banyak arti, yakni tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan adat, akhlak, watak dan perasaan serta cara berpikir. Para pakar etika mendefinisikan kata “etika” secara beragam. Ronald F. Duska dan Brenda Shay Duska mengartikan etika dalam tiga butir, yaitu:
·         Sebuah disiplin ilmu terkait dengan apa yang baik dan yang buruk dan kewajiban moral.
·         Serangkaian prinsip-prinsip moral atau nilai.
·         Teori mengenai sistem nilai moral dan prinsip perilaku yang mengatur individu atau kelompok.
Tokoh etika yang lain, Karel Sosipater, mempersempit arti etika dalam dua hal, yakni “(1) penilaian tentang apa yang benar dan apa yang salah dalam perilaku manusia, dan (2) sebuah cabang ilmu, tepatnya cabang filsafat, yakni pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, poblem moral dan pertimbangan moral.
Dari pandangan berbagai pakar etika di atas dapat diambil benang merah tentang arti etika, yakni penilaian tentang baik buruknya perilaku dan kajian terhadap kenyataan hidup dari segi baik buruk dan benar salahnya. Yang pertama disebut dengan istilah “etika sebagai praksis”, yang kedua disebut “etika sebagai refleksi”.
b. Prinsip-Prinsip Etika Profesi
Setiap profesi mempunyai kode etik sendiri. Namun ada sejumlah prinsip moral yang berlaku sama bagi setiap profiesi. A. Sonny Keraf mengidentifikasikan empat prinsip moral yang berlaku bagi semua profesi. Pertama tanggung jawab. Semua pengemban profesi dituntut untuk menunjukkan tanggung jawab moral dalam pekerjaannya. Menurut Martin Fischeer dan Mark Ravizza tanggung jawab menyangkut dua hal, yakni pelaksanaan tugas dan konsekuensinya.
Dalam pelaksanaan tugas, tanggung jawab mengandaikan integritas, objektivitas dan kompetensi, serta konfidensialitas. Integritas diperlihatkan dengan sikap jujur dan komitmen untuk menjalankan etika profesi. Objektivitas dinyatakan dalam memberikan penilaian atas tindakan atau keputusan yang didasari oleh data dan fakta. Kompetensi diperlihatkan dengan kemampuan dan keterampilan dalam menjalankan pekerjaan. Sedangkan konfidensialitas tercermin dalam keteguhan menjaga rahasia profesi . konfidensialitas menurut Bruce Weisntein merupakan bagian dari respect pada pekerjaan. Selain keempat kualitas etis ini, seorang profesional perlu membekali diri dengan pengetahuan yang memadai untuk memberi bobot dan hasil maksimal pada pekerjaannya.
Selain bekerja maksimal, tanggung jawab menyangkut dampak profesi terhadap kehidupan orang lain. Profesi selalu berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini menurut Ken McPhail dan Diana Walters setiap pengemban profesi harus menempatkan kepentingan umum di atas segala-galanya. Artinya, kepentingan pribadi menjadi nomor dua bagi kaum profesional. Oleh karena itu, kaum profesional dituntut untuk selalu mempertimbangkan secara matang keputusan yang diambil dalam menjalankan tugasnya.
Kedua adalah keadilan. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan pekerjaannya kaum profesional menjamin hak semua pihak. Artinya, perlakuan adil mensyaratkan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu keadilan mengingatkan kaum profesional untuk menghargai semua bidang profesi dan memberi ruang gerak kepadanya menurut fungsi dan kedudukan masing-masing. Ini berarti, kaum profesional tidak boleh mengambil alih pekerjaan yang tidak menjadi bidangnya. Melakukan hal itu merupakan perampasan atas hak orang lain dan membuka konflik antar sesama pengemban profesi. Dan ini merupakan tindakan yang tidak adil. Sikap profesional tidak memberikan ruang bagi perbuatan demikian.
Ketiga adalah otonomi. Seorang profesional adalah manusia yang bebas. Karena itu kebebasan menjadi prinsip penting dalam menjalankan profesi. Memang di satu pihak kaum profesional harus berpijak pada kode etik profesi dan lembaga dimana dia mengemban tugas serta setia pada koleganya, tetapi di pihak lain dia adalah seorang pribadi yang bebas. Untuk itu seorang profesional mempunyai otonomi moral. Hakikat pribadi ini mengisyaratkan bahwa kaum profesional mempunyai kemandirian dalam mengambil keputusan, terutama berhadapan dengan situasi sulit di lapangan.
Keempat adalah kepercayaan. Salah satu ciri profesi adalah pengabdian pada masyarakat. Ciri ini mengisyaratkan bahwa dalam mengemban tugasnya kaum profesional selalu berhubungan dengan orang lain. Dalam relasi dengan orang lain, kepercayaan merupakan nilai sosial yang penting. Menurut Francis Fukuyama kepercayaan adalah modal sosial yang sangat penting dalam profesi. Mengapa? Karena kepercayaan merupakan ungkapan personal. Nilai ini seperti dikatakan oleh Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Merrill, bersumber dari kualitas pribadi, yakni memiliki integritas, tanggung jawab dalam pekerjaan dan kesesuaian perkataan dengan perbuatan.
c. Egoism
1. Egoisme Psikologis
Pada umumnya, etika egoisme dibagi dua, yakni egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis berpendapat bahwa secara psikologis kodrat manusia cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Artinya, sifat dominan seseorang adalah mencari keuntungan bagi dirinya. Menurut paham ini sikap alturisme, yakni sikap peduli pada orang lain yang disertai dengan rela berkorban, merupakan mitos belaka. Kalaupun itu terjadi, dibalik motivasi perbuatan itu tetaplah kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu berbuat baik kepada orang lain menurut egoisme psikologis sesungguhnya bukan murni merupakan ungkapan cinta kasih, melainkan diselubungi oleh cinta diri. Dengan penegasan ini, egoisme psikologis menyangkal adanya sifat altruisme dalam diri seseorang.
            Penyangkalan itu didasari oleh minimal dua argumen sebagaimana diperlihatkan J. Sudarminta. Pertama, setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya merupakan pilihan pelaku untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya, sebelum seseorang menyumbangkan uangnya ke suatu panti sosial, ia lebih dahulu memilih-milih panti mana yang sesuai dengan keinginannya. Dan dalam melakukan ini, ia ingin mendapatkan kebahagiaan. Situasi yang sama sebenarnya dirasakan ketika orang ini ingin menggunakan uangnya untuk pergi jalan-jalan ke tempat yang paling ia sukai.
Kedua, fakta altruisme murni sulit ditemukan. Suatu tindakan hanya seolah-olah tidak egois, namun sesungguhnya kalau motivasinya digali lebih dalam, maka tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Meneruskan contoh di atas, sang penyumbang merasa tidak tenang, kalau dia menyumbangkan uangnya kepada panti sosial yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jadi, disini, menurut egoisme psikologis motivasinya adalah kepentingan diri sendiri.
            Singkatnya, egoisme psikologis melihat kecenderungan manusia untuk selalu meletakkan dasar segala perbuatan pada motivasi kepentingan diri. Motivasi ini bisa bersifat eksplisit atau implisit.

2. Egoisme Etis
Kalau egoisme psikologis lebih menekankan motif individual, egoisme etis menyoroti ukuran penilaian perbuatan. Egoisme etis merupakan paham etika normatif yang menegaskan bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk memilih tindakan yang paling menguntungkan dirinya. Ini berarti, ukuran baik buruknya sebuah perbuatan diletakkan pada diri sendiri. Paham ini mengafirmasikan pentingnya kewajiban setiap orang untuk mengusahakan dan menjamin kepentingan diri.
Dengan penegasan diatas, apakah itu berarti egoisme etis menolak sikap peduli kepada kepentingan orang lain? Untuk menjawab pertanyaan ini James Rachels mengatakan dua hal. Pertama, egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang yang harus membela kepentingan sendiri, tidak juga membela kepentingan orang lain. Yang mau dikatakan, satu-satunnya tugas setiap orang adalah membela kepentingan dirinya. Artinya, hanya ada satu prinsip perilaku, yakni prinsip kepentingan diri dan prinsip ini merangkum semua tugas dan kewajiban alamiah seseorang.
Kedua, egoisme juga tidak mengatakan bahwa kita harus menghindari tindakan untuk menolong orang lain. Bisa jadi dalam banyak kesempatan, kepentingan orang bertautan dengan kepentingan orang lain sehingga dalam menolong diru sendiri ia juga harus menolong orang lain. Bisa juga terjadi bahwa menolong yang lain merupakan cara efektif untuk mencapai kepentingan diri sendiri. Demi tujuan itu, seseorang harus mengindahkan kepentingan orang lain. Dengan demikian etika egoisme tidak melarang tindakan untuk peduli pada orang lain, malah mengajurkannya. Namun nilai perbuatan bukan pada kepedulian, tetapi lebih pada perolehan kepentingan diri.
Secara ringkas dapat ditunjukkan tiga argumen dasar dari egoisme etis. Pertama, ajaran yang menegaskan bahwa sebelum berbuat baik kepada orang lain, orang berbuat baik lebih dahulu bagi diri sendiri. Sadar atau tidak, argumen ini ingin mengungkapkan secara konkret gagasan Sokrates tentang pentingnya pengenalan diri lebih dahulu sebagai dasar untuk mengenal orang lain. Secara lain dapat dikatakan, mengenal diri lebih baik adalah dasar mengenal orang lain lebih baik, sebab diri sendiri adalah bagian dari orang lain. Sama halnya dengan perbuatan baik. Berbuat baik bagi diri sendiri merupakan dasar berbuat baik bagi orang lain. Secara negatif dapat dikatakan, orang tidak bisa berbuat kebaikan maksimal kepada orang lain, kalau pada dirinya sendiri hal ini tidak bisa ia lakukan. Atas alasan ini, menurut Adam Smith, memperjuangkan kepentingan diri (self-interest) memiliki nilai etis.
Kedua, egoisme etis menjunjung tinggi nilai pribadi. Setiap orang adalah pribadi yang membutuhkan pengetahuan. Harga diri mencakup kepentingan pribadi. Dalam kaitan dengan ini, pandangan egoisme etis memuat penghormatan pada integritas pribadi. Melihat hal ini, Ayn Rand sebagaimana dikutip oleh J. Sudarminta memberikan nilai positif pada gagasan egoisme etis karena mendorong setiap manusia untuk semakin menghayati hidup. Bagi egoisme etis, setiap individu sungguh-sungguh bernilai. Oleh sebab itu, mempertahankan eksistensi merupakan tugas utama bagi setiap individu.
Menurut Immanuel Kant, tugas mempertahankan eksistensi merupakan kewajiban dasar setiap individu karena tujuannya adalah mempertahankan martabat manusia. Kant lebih lanjut menyatakan bahwa martabat manusia adalah nilai yang tertinggi. Oleh karena itu manusia tidak akan pernah bisa diperlakukan sebagai alat, selain tujuan pada dirinya sendiri. Mempertahankan martabat manusia merupakan kewajiban tanpa syarat, yang diistilahkan Kant dengan imperatif kategoris.
Ketiga, pandangan egoisme etis sebenarnya memuat nilai universal. Apa artinya? Ketika “setiap orang berkewajiban memperjuangkan kepentingan diri sendiri” menjadi sebuah prinsip, maka prinsip ini berlaku bagi siapa saja. Implikasinya, setiap orang dituntut pula untuk tidak merusak kepentingan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Kalau setiap orang menyadari hal itu, maka sesungguhnya ajaran egoisme etis dalam dirinya sendiri mengandung nilai yang universal.


Sumber :
Bertens,  K. 2001. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sihotang, Kasdin. 2016. Etika Profesi Akuntansi. Yogyakarta : Kanisius.
Sukirno, Agoes dan I Cenik Candra. 2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta : Salemba Empat.
Susanti, Beny2008. Modul Kuliah Etika Profesi Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar