a. Pengertian Etika
Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani,
yakni ethos. Bagi orang Yunani kata ethos mengandung
banyak arti, yakni tempat tinggal, padang rumput, kebiasaan adat,
akhlak, watak dan perasaan serta cara berpikir. Para pakar etika
mendefinisikan kata “etika” secara beragam. Ronald F. Duska dan Brenda Shay
Duska mengartikan etika dalam tiga butir, yaitu:
· Sebuah disiplin ilmu terkait dengan apa yang
baik dan yang buruk dan kewajiban moral.
· Serangkaian prinsip-prinsip moral atau nilai.
· Teori mengenai sistem nilai moral dan prinsip
perilaku yang mengatur individu atau kelompok.
Tokoh etika yang lain, Karel Sosipater,
mempersempit arti etika dalam dua hal, yakni “(1) penilaian tentang apa yang
benar dan apa yang salah dalam perilaku manusia, dan (2) sebuah cabang ilmu,
tepatnya cabang filsafat, yakni pemikiran kefilsafatan tentang moralitas,
poblem moral dan pertimbangan moral.
Dari pandangan berbagai pakar etika di atas
dapat diambil benang merah tentang arti etika, yakni penilaian tentang baik
buruknya perilaku dan kajian terhadap kenyataan hidup dari segi baik buruk dan
benar salahnya. Yang pertama disebut dengan istilah “etika sebagai praksis”,
yang kedua disebut “etika sebagai refleksi”.
b. Prinsip-Prinsip Etika Profesi
Setiap profesi mempunyai kode etik sendiri.
Namun ada sejumlah prinsip moral yang berlaku sama bagi setiap profiesi. A. Sonny
Keraf mengidentifikasikan empat prinsip moral yang berlaku bagi semua
profesi. Pertama tanggung jawab. Semua pengemban profesi
dituntut untuk menunjukkan tanggung jawab moral dalam pekerjaannya. Menurut
Martin Fischeer dan Mark Ravizza tanggung jawab menyangkut dua hal, yakni
pelaksanaan tugas dan konsekuensinya.
Dalam pelaksanaan tugas, tanggung jawab
mengandaikan integritas, objektivitas dan kompetensi, serta konfidensialitas.
Integritas diperlihatkan dengan sikap jujur dan komitmen untuk menjalankan
etika profesi. Objektivitas dinyatakan dalam memberikan penilaian atas tindakan
atau keputusan yang didasari oleh data dan fakta. Kompetensi diperlihatkan
dengan kemampuan dan keterampilan dalam menjalankan pekerjaan. Sedangkan
konfidensialitas tercermin dalam keteguhan menjaga rahasia profesi .
konfidensialitas menurut Bruce Weisntein merupakan bagian dari respect pada
pekerjaan. Selain keempat kualitas etis ini, seorang profesional perlu
membekali diri dengan pengetahuan yang memadai untuk memberi bobot dan hasil
maksimal pada pekerjaannya.
Selain bekerja maksimal, tanggung jawab
menyangkut dampak profesi terhadap kehidupan orang lain. Profesi selalu
berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak. Dalam hal ini menurut Ken
McPhail dan Diana Walters setiap pengemban profesi harus menempatkan
kepentingan umum di atas segala-galanya. Artinya, kepentingan pribadi menjadi
nomor dua bagi kaum profesional. Oleh karena itu, kaum profesional dituntut
untuk selalu mempertimbangkan secara matang keputusan yang diambil dalam
menjalankan tugasnya.
Kedua adalah keadilan. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
pekerjaannya kaum profesional menjamin hak semua pihak. Artinya, perlakuan adil
mensyaratkan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu keadilan mengingatkan
kaum profesional untuk menghargai semua bidang profesi dan memberi ruang gerak
kepadanya menurut fungsi dan kedudukan masing-masing. Ini berarti, kaum
profesional tidak boleh mengambil alih pekerjaan yang tidak menjadi bidangnya.
Melakukan hal itu merupakan perampasan atas hak orang lain dan membuka konflik
antar sesama pengemban profesi. Dan ini merupakan tindakan yang tidak adil.
Sikap profesional tidak memberikan ruang bagi perbuatan demikian.
Ketiga adalah otonomi. Seorang profesional adalah manusia yang
bebas. Karena itu kebebasan menjadi prinsip penting dalam menjalankan profesi.
Memang di satu pihak kaum profesional harus berpijak pada kode etik profesi dan
lembaga dimana dia mengemban tugas serta setia pada koleganya, tetapi di pihak
lain dia adalah seorang pribadi yang bebas. Untuk itu seorang profesional
mempunyai otonomi moral. Hakikat pribadi ini mengisyaratkan bahwa kaum
profesional mempunyai kemandirian dalam mengambil keputusan, terutama berhadapan
dengan situasi sulit di lapangan.
Keempat adalah kepercayaan. Salah satu ciri profesi
adalah pengabdian pada masyarakat. Ciri ini mengisyaratkan bahwa dalam
mengemban tugasnya kaum profesional selalu berhubungan dengan orang lain. Dalam
relasi dengan orang lain, kepercayaan merupakan nilai sosial yang penting.
Menurut Francis Fukuyama kepercayaan adalah modal sosial yang sangat penting
dalam profesi. Mengapa? Karena kepercayaan merupakan ungkapan personal. Nilai
ini seperti dikatakan oleh Stephen M.R. Covey dan Rebecca R. Merrill, bersumber
dari kualitas pribadi, yakni memiliki integritas, tanggung jawab dalam
pekerjaan dan kesesuaian perkataan dengan perbuatan.
c. Egoism
1. Egoisme Psikologis
Pada umumnya, etika egoisme dibagi dua, yakni
egoisme psikologis dan egoisme etis. Egoisme psikologis berpendapat bahwa
secara psikologis kodrat manusia cenderung memilih tindakan yang menguntungkan
bagi diri sendiri. Artinya, sifat dominan seseorang adalah mencari keuntungan
bagi dirinya. Menurut paham ini sikap alturisme, yakni sikap peduli pada orang
lain yang disertai dengan rela berkorban, merupakan mitos belaka. Kalaupun itu
terjadi, dibalik motivasi perbuatan itu tetaplah kepentingan diri sendiri. Oleh
karena itu berbuat baik kepada orang lain menurut egoisme psikologis
sesungguhnya bukan murni merupakan ungkapan cinta kasih, melainkan diselubungi
oleh cinta diri. Dengan penegasan ini, egoisme psikologis menyangkal adanya
sifat altruisme dalam diri seseorang.
Penyangkalan
itu didasari oleh minimal dua argumen sebagaimana diperlihatkan J.
Sudarminta. Pertama, setiap tindakan yang dilakukan dengan
bebas pada dasarnya merupakan pilihan pelaku untuk melakukan sesuatu yang
diinginkannya. Misalnya, sebelum seseorang menyumbangkan uangnya ke suatu panti
sosial, ia lebih dahulu memilih-milih panti mana yang sesuai dengan
keinginannya. Dan dalam melakukan ini, ia ingin mendapatkan kebahagiaan.
Situasi yang sama sebenarnya dirasakan ketika orang ini ingin menggunakan
uangnya untuk pergi jalan-jalan ke tempat yang paling ia sukai.
Kedua, fakta altruisme murni sulit ditemukan. Suatu tindakan
hanya seolah-olah tidak egois, namun sesungguhnya kalau motivasinya digali
lebih dalam, maka tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Meneruskan
contoh di atas, sang penyumbang merasa tidak tenang, kalau dia menyumbangkan
uangnya kepada panti sosial yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jadi,
disini, menurut egoisme psikologis motivasinya adalah kepentingan diri sendiri.
Singkatnya,
egoisme psikologis melihat kecenderungan manusia untuk selalu meletakkan dasar
segala perbuatan pada motivasi kepentingan diri. Motivasi ini bisa bersifat
eksplisit atau implisit.
2. Egoisme Etis
Kalau egoisme psikologis lebih menekankan
motif individual, egoisme etis menyoroti ukuran penilaian perbuatan. Egoisme
etis merupakan paham etika normatif yang menegaskan bahwa setiap orang memiliki
kewajiban untuk memilih tindakan yang paling menguntungkan dirinya. Ini
berarti, ukuran baik buruknya sebuah perbuatan diletakkan pada diri sendiri.
Paham ini mengafirmasikan pentingnya kewajiban setiap orang untuk mengusahakan
dan menjamin kepentingan diri.
Dengan penegasan diatas, apakah itu berarti
egoisme etis menolak sikap peduli kepada kepentingan orang lain? Untuk menjawab
pertanyaan ini James Rachels mengatakan dua hal. Pertama, egoisme etis tidak
mengatakan bahwa orang yang harus membela kepentingan sendiri, tidak juga
membela kepentingan orang lain. Yang mau dikatakan, satu-satunnya tugas setiap
orang adalah membela kepentingan dirinya. Artinya, hanya ada satu prinsip
perilaku, yakni prinsip kepentingan diri dan prinsip ini merangkum semua tugas
dan kewajiban alamiah seseorang.
Kedua, egoisme juga tidak mengatakan bahwa
kita harus menghindari tindakan untuk menolong orang lain. Bisa jadi dalam
banyak kesempatan, kepentingan orang bertautan dengan kepentingan orang lain
sehingga dalam menolong diru sendiri ia juga harus menolong orang lain. Bisa
juga terjadi bahwa menolong yang lain merupakan cara efektif untuk mencapai
kepentingan diri sendiri. Demi tujuan itu, seseorang harus mengindahkan
kepentingan orang lain. Dengan demikian etika egoisme tidak melarang tindakan
untuk peduli pada orang lain, malah mengajurkannya. Namun nilai perbuatan bukan
pada kepedulian, tetapi lebih pada perolehan kepentingan diri.
Secara ringkas dapat ditunjukkan tiga argumen
dasar dari egoisme etis. Pertama, ajaran yang menegaskan bahwa sebelum berbuat
baik kepada orang lain, orang berbuat baik lebih dahulu bagi diri sendiri.
Sadar atau tidak, argumen ini ingin mengungkapkan secara konkret gagasan
Sokrates tentang pentingnya pengenalan diri lebih dahulu sebagai dasar untuk
mengenal orang lain. Secara lain dapat dikatakan, mengenal diri lebih baik
adalah dasar mengenal orang lain lebih baik, sebab diri sendiri adalah bagian
dari orang lain. Sama halnya dengan perbuatan baik. Berbuat baik bagi diri
sendiri merupakan dasar berbuat baik bagi orang lain. Secara negatif dapat
dikatakan, orang tidak bisa berbuat kebaikan maksimal kepada orang lain, kalau
pada dirinya sendiri hal ini tidak bisa ia lakukan. Atas alasan ini, menurut
Adam Smith, memperjuangkan kepentingan diri (self-interest) memiliki
nilai etis.
Kedua, egoisme etis menjunjung tinggi nilai
pribadi. Setiap orang adalah pribadi yang membutuhkan pengetahuan. Harga diri
mencakup kepentingan pribadi. Dalam kaitan dengan ini, pandangan egoisme etis
memuat penghormatan pada integritas pribadi. Melihat hal ini, Ayn Rand
sebagaimana dikutip oleh J. Sudarminta memberikan nilai positif pada gagasan
egoisme etis karena mendorong setiap manusia untuk semakin menghayati hidup.
Bagi egoisme etis, setiap individu sungguh-sungguh bernilai. Oleh sebab itu,
mempertahankan eksistensi merupakan tugas utama bagi setiap individu.
Menurut Immanuel Kant, tugas mempertahankan
eksistensi merupakan kewajiban dasar setiap individu karena tujuannya adalah
mempertahankan martabat manusia. Kant lebih lanjut menyatakan bahwa martabat
manusia adalah nilai yang tertinggi. Oleh karena itu manusia tidak akan pernah
bisa diperlakukan sebagai alat, selain tujuan pada dirinya sendiri.
Mempertahankan martabat manusia merupakan kewajiban tanpa syarat, yang
diistilahkan Kant dengan imperatif kategoris.
Ketiga, pandangan egoisme etis sebenarnya
memuat nilai universal. Apa artinya? Ketika “setiap orang berkewajiban
memperjuangkan kepentingan diri sendiri” menjadi sebuah prinsip, maka prinsip
ini berlaku bagi siapa saja. Implikasinya, setiap orang dituntut pula untuk
tidak merusak kepentingan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Kalau
setiap orang menyadari hal itu, maka sesungguhnya ajaran egoisme etis dalam
dirinya sendiri mengandung nilai yang universal.
Sumber :
Bertens, K. 2001. Etika.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sihotang, Kasdin. 2016. Etika Profesi Akuntansi.
Yogyakarta : Kanisius.
Sukirno, Agoes dan I Cenik Candra.
2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya.
Jakarta : Salemba Empat.
Susanti, Beny. 2008. Modul Kuliah Etika
Profesi Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar