Jumat, 08 April 2016

Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia

PENDAHULUAN
       Seperti kita ketahui, dari pasal 131 indische staats regeling (S. 1855 nr 2 jo. 1), bagi orang bumiputra berlaku peraturan-peraturan agama dan adat. jika ada kebutuhan, maka barulah peraturan-peraturan yang berlaku bagi orang barat dipergunakan, itu pun sesudah ada beberapa penyesuaian.
       Pasal 131 ini pula yang selalu dikemukakan oleh para ahli Hukum Adat dalam membicarakan dan mengantarkan Hukum Adat di Indonesia (Ter Haar 1946: 9 dan seterusnya). dalam pada itu, A.D.A. de Kat Angelino (1929: 110), seorang ahli dalam ilmu Pemerintahan Belanda mengatakan, bahwa Hukum Adat dan Hukum Barat berbeda sama sekali, meskipun dari luar nampaknya sama. Pengaturan secara sadar mengenai apa yang akan datang kurang diperhatikan dalam Hukum Adat. Yang lebih diperhatikan adalah keadaan sekarang. Demikian pula Margaret Mead (1963: 239) memberikan contoh-contoh dari Yunani maupun Birma, bahwa masyarakat-masyarakat tersebut lebih banyak memikirkan tentang keadaan serang daripada keadaan yang akan datang. Keadaan sekarang adalah keadaan yang sudah pasti diketahui, sedangkan keadaan yang akan datang tidak dapat diperhitungkan.
       Sebagai akibat daripada keadaan ini, maka investasi berupa uang untuk waktu yang akan datang merupakan juga sesuatu hal yang asing. Orang lebih suka memikirkan keadaan sekarang yang sudah sulit dan kurang memperhitungkan keadaan yang akan datang. Maka sekarang sudah mulai jelas pula, mengapa orang Indonesia suka sekali mempergunakan perkataan : "sesuai dengan situasi dan kondisi" dan segala sesuatu "dapat diatur kemudian".
       Meskipun masih berlakunya Hukum adat di zaman penjajahan kelihatannya sebagai suatu tindakan kemanusiaan dari pihak penjajah, tetapi sebenarnya merupakan suatu usaha agar terjadi suatu kesenjangan antara tata kehidupan Barat dan orang bumiputra. Kesenjangan ini lebih-lebih terasa pada tata kehidupan ekonomi. Tata kehidupan ekonomi Belanda tidak terjangkau oleh orang-orang bumiputra. Jika ada persoalan antara orang Belanda dan orang bumiputram maka pengadilannya adalah raad van justitie dan bukan landraad yang khusus untuk bumiputra.
       Akibat lain ialah adanya dua struktur ekonomi yang berbeda di satu pihak terdapat sistem ekonomI uang, di mana uang merupakan sarana pertukaran yang baku. Di lain pihak terdapat sistem ekonomi jasa, di mana jasa atau tenaga kerja merupakan alat pembayar. Kerja rodi atau Herendiensten merupakan pajak yang dibayar dengan tenaga kerja. Bila kedua sistem ini bertemu, misalnya di bidang industri dan perkebunan, maka sistem ekonomi jasa selalu dalam keadaan yang lemah. Uang tersedia dalam jumlah yang terbatas, sedangkan tenaga kerja tersedia dalam jumlah yang melimpah. Dengan demikian, maka upah dapat ditekan serendah mungkin. Inilah tujuan utama dari para penjajah untuk melestarikan Hukum Adat.
       Sekarang timbul pertanyaan, apakah kedua sistem ekonomi ini masih ada? Jawabannya ialah : "masih!". pajak dalam bentuk tenaga kerja masih ditarik di desa-desa. dalam menghadapi industri luar negeri terasa bahwa kita selalu dalam kedudukan yang kurang kuat. Lebih-lebih karena banyak keputusan-keputusan yang lebih banyak didasarkan kepada keadaan sekarang dan bukan keadaan yang akan datang, menimbulkan kerugian-kerugian dalam lingkungan hidup (Emil Salim 1979).
       Maka sekarang sudah waktu nya untuk melihat kembali keputusan-keputusan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar